Kaya dalam Konsep Materi

Oleh Nurul Ana Khusniyah

 
Sering kita dapati anggapan dimasyarakat, ketika seseorang bekerja, lalu menempati sebuah rumah, mampu membeli mobil, memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain, maka orang tersebut akan dikatakan sudah kaya. Pandangan tersebut akan semakin dibenarkan dengan penampilannya yang serba berkecukupan. Ditambah lagi dengan pekerjaannya yang tampak lancar-lancar saja. Lengkap sudah kesuksesannya. Lalu, muncul pertanyaan, apa batasan kaya itu, mengingat banyak orang yang ingin menjadi orang kaya. Seolah-olah dengan kekayaannya semua bisa diperoleh.     


 Kaya sebenarnya tidak diukur dari materi semata, meski kita tidak memungkiri bahwa materi menjadi sangat penting untuk meraih kebutuhan dalam hidup kita. Batasan kaya ada 3 jika diukur dari segi materi. Pertama, memiliki tabungan. Saya yakin setiap orang ingin memiliki tabungan, selain sebagai investasi, menabung biasanya dilakukan dengan motif berjaga-jaga. Bahkan dalam dunia perbankkan, disediakan berbagai macam tabungan. Ada tabungan pendidikan, tabungan hari tua, tabungan haji, dan lain sebagainya. 


Orang yang menabung biasanya yang merasa bahwa penghasilannya sudah lebih dari cukup, sehingga kelebihan dari keperluan hidup layak itulah yang dimasukkan dalam simpanan tabungan. Lantas, berapakah batasan kebutuhan sehari-hari untuk bisa dikatakan sudah cukup? Hal inilah yang akan menandakan seseorang kemudian bisa dikatakan menjadi kaya. Berapapun pendapatannya, ketika sudah bisa menyisishkan untuk menabung, maka dia layak dikatakan kaya. Kriteria kedua, banyak bersedekah. Ketika seseorang memiliki tabungan yang banyak, tapi belum mampu bersedekah, maka ia belum bisa dikatakan kaya. 


Bersedekah merupakan ukuran kekayaan hati, karena meskipun bersedekah banyak memberikan harta benda tetapi untuk menyombongkan diri sepertinya kekayaan hatinya juga perlu dipertanyakan. Bersedekah berarti kita mampu memikirkan orang lain. Perlu disadari bahwa harta yang kita miliki sebagian milik orang lain. Kalau kita merasa sudah bekerja keras lalu mendapatkan hasil yang mencukupi, kemudian berdalih sudah sepantasnya, sepertinya perlu diluruskan pemikiran tersebut. Ketika kita diberikan kelancaran dalam bekerja, itu bukan semata-mata kita hebat, tetapi ada campur tangan Tuhan dan doa-doa dari orang-orang yang menyayangi kita. Jadi, biasakanlah bersedekah karena dengan bersedekah kita akan merasakan banyak kabaikan. Ukuran ketiga orang dikatakan kaya adalah tidak memiliki hutang. 


Perkara ini sepertinya menjadi hal yang sangat umum di masyarakat kita. Rumah boleh mewah, mobil boleh bagus, bahkan lebih dari satu, usaha boleh sukses, tetapi ketika itu dari hasil berhutang, sepertinya itu bukan kaya. Jangan terkecoh dengan penampilan. Hiduplah sederhana, hindari hutang untuk keperluan yang sebenarnya kita tak perlu berhutang. Ingatlah, hutang akan membuat hidup kita tidak tenang. Kepuasan waktu kita diberi uang hasil menghutang tak sebanding dengan perjuangan dan susah payahnya kita waktu harus membayar hutang. Hal ini yang kemudian mendorong sebagian banyak orang berhutang menjadi sangat malas membayarnya. Sebenarnya berhutang itu boleh saja, asal ikuti etika-etika dalam berhutang, sehingga tidak merugikan semua pihak. Hutanglah untuk keperluan yang benar-benar mendesak, jangan memaksa orang untuk memberikan hutangan. Jika orang tersebut tidak mau meminjami uang, jangan membencinya atau memusuhinya. Berniatlah sungguh-sungguh untuk membayarnya, jiak sudah punya segeralah bayar, jangan ditunda. Berilah sekedar uang terimakasih untuk orang yang sudah memberikan hutangan. Jangan menghutang ke pihak yang meminta keuntungan. Jangan membayar hutang dengan menghutang di tempat alain, kita akan terjebak dalam perkara gali lubang tutup lubang, dan akan semakin lebar lubangnya. Namun, akan lebih aman jika kita tidak memiliki hutang. Tetaplah berusaha untuk menjadi kaya karena dengan kekayaan kita bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan.